Minggu, 10 Juni 2012

Sekelumit tulisan untuk sang Pembelajar dari Indonesia


Kawan aku ingin bercerita sekelumit tentang Indonesia, iya tentang Negara kita ini.
Indonesia adalah sekolah kehidupan. Di “sekolah” yang satu ini tak ada surat tanda tamat belajar sebelum tubuh berkalang tanah. Di “sekolah” yang satu ini, perubahan adalah kewajiban sebagai pertanda kehidupan.
Sesungguhnya, tak ada “sekolah” di dunia ini yang seunik dan semenarik Indonesia. Sebab di Sekolah Kehidupan Indonesia inilah kita dimungkinkan saling mengajar-belajar tanpa henti untuk …
… menjadi manusia-manusia mandiri, tak membuat susah;
… menjadi manusia-manusia dewasa, bukan sekadar tua;
… menjadi manusia-manusia otentik, unik tak terbandingkan;
… menjadi manusia-manusia yang saling memanusiawikan
… menjadi manusia-manusia yang beriman,
bukan hanya beragama;
… menjadi manusia-manusia yang berperadaban,
bukan sekadar santun;
… menjadi manusia-manusia yang mampu memberi,
bukan hanya meminta;
… menjadi manusia-manusia yang mampu mencintai,
tak hanya menuntut dicintai;
… menjadi manusia-manusia yang berkebangsaan,
bukan cuma bersuku bangsa;
… menjadi manusia-manusia yang bisa bermusyawarah,
bukan memaksakan kehendak;
… menjadi manusia-manusia yang berkepedulian,
tidak egois dan egosentris.
Dan mungkin proses transformasi menjadi manusia-manusia seperti itulah yang pantas kita sebut sebagai menjadi Indonesia seutuhnya. Pendapat subjektif  saya saja, oh iya kawan ada cerita tentang seorang ulama pecinta ilmu.
Ulama besar itu sedang jatuh sakit. Parah. Seluruh tubuhnya terasa payah. Persendiannya ngilu dan tulang-tulangnya kaku. Dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur, tak kuasa bergerak dan beranjak sedikit pun dari sana. Namun kondisinya yang sangat lemah itu, tak juga menyurutkan semangatnya untuk terus berbagi ilmu, membaca dan menelaah buku-buku, serta berdiskusi dengan murid-muridnya.

Dokter yang didatangkan untuk mengobatinya, pun begitu prihatin melihat keadaannya. Setelah memeriksanya, dokter itu berkata, “Aktifitas Anda yang banyak membaca dan berdisukusi tentang ilmu, telah membuat sakit Anda semakin berat.”

“Tapi, aku tidak bisa bersabar untuk melakukan itu. Akan aku buktikan sesuai dengan ilmu Anda. Bukankah jiwa itu jika bisa merasakan kebahagiaan, ketenangan dan kenyamanan, maka perasaan itu akan mampu menyembuhkannya dari penyakit?” kilahnya dengan nafas sedikit tersengal.
“Tentu,” jawab sang dokter singkat.
“Jiwaku akan merasa senang jika ia bisa berinteraksi dengan ilmu,” tambahnya memberi alasan.

Tak berapa lama, dengan tetap menuruti kata hatinya untuk terus membaca, ulama besar itu pun kembali sehat seperti sedia kala. Dia mengobati sakitnya dengan membaca. Melihat keadaannya yang membaik, dokter yang pernah merawat dan menasehatinya, hanya bisa berkata, “Ini di luar terapi yang biasa kami berikan.”

Ulama besar tersebut tak lain adalah Ibnu Taimiyah; sosok yang semasa hidupnya sangat lekat dengan kesederhanaan, kemiskinan, dan penjara, tetapi tetap ceria dan selalu bersahaja. “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih merasakan kenikmatan hidup dari pada Ibnu Taimiyah. Meskipun hidupnya dalam kesederhanaan, kemiskinan, tahanan dan di bawah ancaman, tetapi ia adalah orang yang paling lapang dadanya, sehingga wajahnya selalu terlihat berseri-seri,” tutur salah seorang muridnya, Ibnu Qayim Al-Jauziyah, menceritakan tentang pribadinya.

Sederhana dan bersahaja mungkin sebuah sikap yang memang sangat lekat pada diri seorang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang lebih menarik dari sekadar itu, adalah semangat keilmuannya yang tinggi. Semangat telaah dan bacanya yang hebat, yang mampu meringankannya dari rasa sakit yang menimpanya. Sejak kecil semangat itu telah ada, dan tak pernah menyusut karena terpengaruh oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi.
Menarik dan inspirtif, Maka, tetap semangat kawan dalam belajar, mencari ilmu, mengamalkannya di tengah kondisi keterbatasan sekalipun , Sementara bagi kita yang berhasrat besar untuk terus belajar dan bersedia bermanfaat, mari kita serukan bersama: Indonesia belajarlah !